Ibnu Taimiyah merupakan
seorang ulama yang fatwa-fatwanya banyak menjadi rujukan kaum Wahhabiyah.
Beliau dianggap sebagai ulama yang bermadzhab Hanbali yang sangat ketat.
Sedangkan bagi ulama Syafi’iyyah, Ibnu Taimiyah dikatakan menyimpang terkait
pembahasan aqidah. Namun, banyak hal menarik yang juga bisa di ambil hikmah
dari fatwa-fatwa beliau tentang menghadiahkan pahala kepada orang mati termasuk
menghadiahkan bacaan al-Qur’an untuk orang mati (mayyit).
QS. an-Najm Ayat
39 dan Hadits Terputusnya Amal
Ibnu Taimiyah pernah
ditanya tentang QS. an-Najm 39 dan hadits terputusnya amal sebagaimana
tercantum didalam kitabnya sebagai berikut
:
سئل: عن قوله
تعالى: {وأن ليس للإنسان إلا ما سعى}
وقوله - صلى الله عليه وسلم -: «إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث
صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له» فهل يقتضي ذلك إذا مات لا يصل
إليه شيء من أفعال البر؟
Ibnu Taimiyah di
tanya tentang firman Allah {tiada bagi manusia kecuali apa yang diusahakan} dan
sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam {apabila anak adam wafat maka
terputuslah amalanya kecuali 3 hal yakni shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat
untuknya dan anak shalih yang berdo’a untuknya}, apakah hal itu menunjukkan
apabila seseorang wafat tidak perbuatan-perbuatan kebajikan tidak sampai
kepadanya ?
الجواب: الحمد لله
رب العالمين. ليس في الآية، ولا في الحديث أن الميت لا ينتفع بدعاء الخلق له، وبما
يعمل عنه من البر بل أئمة الإسلام متفقون على انتفاع الميت بذلك، وهذا مما يعلم
بالاضطرار من دين الإسلام، وقد دل عليه الكتاب والسنة والإجماع، فمن خالف ذلك كان
من أهل البدع
Jawab ;
al-Hamdulillahi Rabbil ‘Alamiin, tiada didalam ayat dan tidak pula didalam
hadits bahwa mayyit (orang mati) tidak mendapat manfaat dengan do’a untuknya
dan dengan apa yang amalkan (kerjakan) untuknya seperti kebajikan bahkan para
Imam telah sepakat bahwa mayyit (orang mati) mendapatkan manfaat atas hal itu,
dan ini diketahui dengan jelas dari agama Islam, dan sungguh al-Kitab
(al-Qur’an), as-Sunnah dan Ijma’ telah menunjukkannya, oleh karena itu
barangsiapa yang menyelisihi hal itu maka ia termasuk dari ahli bid’ah. [1]
Karena panjangnya
bahasan inii (ulasan Ibnu Taimiyah) yang intinya baik ibadah maliyah dan
badaniyah bisa sampai kepada mayyit dan memberikan manfaat bagi orang mati,
telah tersebar pembahasan ini dalam kitab-kitab beliau, maka kami singkatkan
(cukupkan) untuk menyoroti hadits Inqatha'a Amaluhu menurut Ibnu Taimiyah :
أما الحديث فإنه
قال: «انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له»
فذكر الولد، ودعاؤه له خاصين؛ لأن الولد من كسبه، كما قال: {ما أغنى عنه ماله وما
كسب} [المسد: 2] . قالوا: إنه ولده. وكما قال النبي - صلى الله عليه وسلم -: «إن
أطيب ما أكل الرجل من كسبه، وإن ولده من كسبه» . فلما كان هو الساعي في وجود الولد
كان عمله من كسبه، بخلاف الأخ، والعم والأب، ونحوهم. فإنه ينتفع أيضا بدعائهم، بل
بدعاء الأجانب، لكن ليس ذلك من عمله
“Mengenai hadits
bahwa Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda : "apabila seorang
manusia mati maka terputus darinya amalnya (perbuatanya) kecuali yang berasal
dari tiga hal yakni : shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan dan anak shalih
yang berdo’a untuknya". Disini menyebutkan walad (anak-anak) dan do'anya
kepadanya secara khusus karena sungguh seorang anak termasuk dari usahanya,
sebagaimana firman Allah Ta'alaa : "Tidaklah berfaedah kepadanya harta
bendanya dan apa yang ia usahakan” (QS. Al-Lahaab : 2). Ulama telah berkata :
sesungguhnya yang dimaksud itu adalah anaknya, dan sebagaimana sabda Nabi
shallallahu ‘alayhi wa sallam : "Sungguh sebaik-baiknya apa yang dimakan
oleh seseorang adalah yang berasal dari usahanya dan sungguh anaknya bagian
dari usahanya". Maka ia sebagai orang yang berusaha (sa’i) didalam hal
wujudnya seorang anak maka amalnya (amal anaknya) termasuk dari kasabnya
(usahanya), berbeda halnya dengan saudara, paman, ayah dan seumpama mereka.
Namun, mereka itu bisa memberikan manfaat juga dengan do’a mereka bahkan juga
do’a yang lainnya, akan tetapi yang demikian itu bukan dari amalnya.
والنبي - صلى الله
عليه وسلم - قال: «انقطع عمله إلا من ثلاث» لم يقل: إنه لم ينتفع بعمل غيره. فإذا
دعا له ولده كان هذا من عمله الذي لم ينقطع، وإذا دعا له غيره لم يكن من عمله،
لكنه ينتفع به
“Dan Nabi
shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda : "terputus amalnya kecuali 3
hal", namun tidak dikatakan : sesunggguhnya tidak mendapat manfaat dari
amal orang lain. Maka ketika anaknya berdo'a untuknya, itu menjadi bagian dari
amalnya yang tidak terputus,sedangkan apabila orang lain yang berdo'a untuknya,
maka itu tidak menjadi bagian dari amalnya, akan tetapi bisa mendapatkan
manfaat dengan hal tersebut. [] [2]
Jawab : Pembacaaan al-Qur’an oleh keluarga almarhum
sampai kepada mayyit, dan tasbih mereka, takbir dan seluruh dziki-dzikir karena
Allah Ta’alaa apabila menghadiahkannya kepada mayyit, maka sampai kepada
mayyit. Wallahu A’lam[3]
Jawab : Apabila seseorang bertahlil sejumlah yang
demikian ; 70.000 kali atau lebih
sedikit atau lebih banyak dari itu dan menghadiahkannya kepada mayyit niscaya
Allah akan memberikan kemanfaatan kepada mayyit dengan hal tersebut, dan tidaklah hadits ini shahih dan tidak pula
dlaif. Wallahu A’lam”. [5]
Dan seperti itu juga apabila orang lain memberikan
untuknya dengan usaha orang tersebut niscaya Allah memberikan manfaat dengan
hal tersebut, sebagaimana bermanfaatnya do'a orang tersebut untuknya, juga
shadaqah untuknya, dan itu berarti mendapatkan manfaat dengan setiap yang
sampai kepadanya yang berasal dari setiap muslim, sama saja baik yang berasal
dari kerabatnya atau orang lain, sebagaimana mendapatkan manfaat dengan shalat
umat Islam atas mayyit dan do'a umat islam untuk mayyit disamping quburnya. [6]
Maka (oleh karena itu), apabila puasa, shalat dan qiraa’ah di hadiahkan
untuk mayyit maka itu boleh, namun kebanyakan Ashhab Malik dan Ashhab
asy-Syafi’i mengatakan : sesungguhnya yang demikian disyariatkan pada
ibadah-ibadah maliyah saja, dan bersamaan hal ini tiada dari kebiasaan salafush
shaleh ketika mereka shalat sunnah, puasa, haji atau membaca al-Qur’an kemudian
menghadiahkan pahala yang demikian untuk orang-orang mati diantara mereka yang
muslim, tidak pula kepada orang-orang khusus diantara mereka, bahkan itu
menjadi kebiasaan mereka sebagaimana (pemaparan) sebelumnya, maka tidak sepatutnya
bagi manusia untuk mengadili dari jalan shalafush shaleh, sebab itu lebih utama
(afdlaliyah) dan lebih sempurna. Wallahu A’lam. [7]
Berikut merupakan jawaban Ibnu Taimiyah ketika di tanya
tentang keluarga al-marhum yang membaca al-Qur’an untuk orang mati :
سئل: عن قراءة أهل الميت تصل إليه؟ والتسبيح والتحميد،
والتهليل والتكبير، إذا أهداه إلى الميت يصل إليه ثوابها أم لا؟. الجواب: يصل إلى
الميت قراءة أهله، وتسبيحهم، وتكبيرهم، وسائر ذكرهم لله تعالى، إذا أهدوه إلى
الميت، وصل إليه، والله أعلم
(Ibnu Taimiyah) ditanya tentang keluarga al-Marhum yang
membaca al-Qur’an yang disampaikan kepada mayyit ? Tasybih, tahmid, tahlil dan
takbir, apabila menghadiahkannya kepada mayyit, apakah pahalanya sampai kepada
mayyit ataukah tidak ?
Ibnu Taimiyah Pernah Ditanya Hal Yang Sama
سئل: هل القراءة تصل إلى الميت من الولد أو لا؟ على مذهب
الشافعي
(Ibnu Taimiyah) ditanya tentang pembacaan al-Qur’an oleh
seorang anak apakah sampai kepada mayyit atau tidak ? Bagaimana menurut madzhab
asy-Syafi’i ?
الجواب: أما وصول ثواب العبادات البدنية: كالقراءة، والصلاة،
والصوم، فمذهب أحمد، وأبي حنيفة، وطائفة من أصحاب مالك، والشافعي، إلى أنها تصل،
وذهب أكثر أصحاب مالك، والشافعي، إلى أنها لا تصل، والله أعلم.
Jawab : Adapun sampai pahala ibadah-ibadah badaniyah seperti
membaca al-Qur’an, shalat dan puasa, oleh karena itu madzhab Imam Ahmad, Imam
Abu Hanifah dan sekelompok dari Ashhab Malik dan asy-Syaf’i menyatakan sampai,
sedangkan pendapat kebanyakan Ashhab Malik dan asy-Syafi’i menyatakan tidak
sampai. Wallahu A’lam. [4]
BERTAHLIL 70.000 DAN DIHADIAHKAN KEPADA MAYYIT
سئل: عمن «هلل سبعين ألف مرة، وأهداه للميت، يكون براءة للميت
من النار» حديث صحيح؟ أم لا؟ وإذا هلل الإنسان وأهداه إلى الميت يصل إليه ثوابه،
أم لا؟ الجواب: إذا هلل الإنسان هكذا: سبعون ألفا، أو أقل، أو أكثر. وأهديت إليه
نفعه الله بذلك، وليس هذا حديثا صحيحا، ولا ضعيفا. والله أعلم.
“Ibnu Taimiyah ditanya tentang orang yang bertahlil 70.000
kali dan menghadiahkannya kepada mayyit, supaya memberikan keringan kepada
mayyit dari api neraka, haditsnya shahih ataukah tidak ? Apakah seseorang
manusia yang bertahlil dan menghadiahkan kepada mayyit, pahalanya sampai kepada
mayyti ataukah tidak ?
Berikut merupakan penjabaran Ibnu Taimiyyah di dalam sebuah
pasal khusus yang membahas pembacaan al-Qur’an untuk orang mati :
فصل : وأما القراءة، والصدقة وغيرهما من أعمال البر، فلا نزاع
بين علماء السنة والجماعة في وصول ثواب العبادات المالية، كالصدقة والعتق، كما يصل
إليه أيضا الدعاء والاستغفار، والصلاة عليه صلاة الجنازة، والدعاء عند قبره
Sebuah pasal : Qira’ah dan shadaqah serta selain keduanya
seperti amal-amal kebajikan : tidak ada perselisihan diantara ‘ulama’ Ahlus
Sunnah wal Jama'ah tentang sampainya pahala ibadah-ibadah maliyah, seperti
shadaqah, memerdekakan budak, sebagaimana sampainya do’a dan istighafar kepada
orang mati, shalat untuk orang mati yakni shalat jenazah, dan do’a disamping
kubur orang mati.
وتنازعوا في وصول الأعمال البدنية: كالصوم، والصلاة، والقراءة،
والصواب أن الجميع يصل إليه
Ulama Ahlussunnah wal Jama'ah telah berselisih pendapat
tentang sampainya amal-amal badaniyah, seperti puasa, shalat dan pembacaan
al-Qur’an, namun yang shawab (benar) bahwa semuanya sampai kepada orang mati,
فقد ثبت في الصحيحين
عن النبي - صلى الله عليه وسلم - أنه قال: «من مات وعليه صيام صام عنه وليه» وثبت
أيضا: «أنه أمر امرأة ماتت أمها، وعليها صوم، أن تصوم عن أمها» . وفي المسند عن
النبي - صلى الله عليه وسلم - أنه قال لعمرو بن العاص: «لو أن أباك أسلم فتصدقت
عنه، أو صمت، أو أعتقت عنه، نفعه ذلك» وهذا مذهب أحمد، وأبي حنيفة، وطائفة من
أصحاب مالك، والشافعي
Sungguh telah tsabit didalam Ash-Shahihain (Bukhari Muslim)
dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bahwa beliau bersabda : “barangsiapa
yang wafat dan masih memiliki tanggungan puasa, maka hendaknya walinya berpuasa
untuknya”, dan telah tsabit juga “bahwa Nabi memerintahkan perempuan yang
ibunya wafat sedangkan masih memiliki tanggungan puasa, agar berpuasa
untuknya”, dan didalam al-Musnad dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bahwa
beliau berkata kepada ‘Amru bin ‘Ash “seandainya ayahmu masuk Islam maka engkau
bershadaqahlah menggantikannya (untuknya), atau engkau berpuasa, atau
memerdekan budak untuknya, niscaya itu bermanfaat untuknya”, dan inilah madzhab
Imam Ahmad, Abu Hanifah, sekelompok dari Ashhab Malik dan asy-Syafi’i.
وأما احتجاج بعضهم بقوله تعالى: {وأن ليس للإنسان إلا ما سعى}
[النجم: 39] فيقال له قد ثبت بالسنة المتواترة وإجماع الأمة: أنه يصلى عليه، ويدعى
له، ويستغفر له وهذا من سعي غيره. وكذلك قد ثبت ما سلف من أنه ينتفع بالصدقة عنه،
والعتق، وهو من سعي غيره. وما كان من جوابهم في موارد الإجماع فهو جواب الباقين في
مواقع النزاع. وللناس في ذلك أجوبة متعددة
Adapun sebagian mereka yang berhujjah dengan firman Allah
Ta'alaa {tiada bagi manusia kecuali apa yang diusahakan} maka dikatakan
kepadanya (jawaban untuknya), sungguh telah tsabit berdasarkan Sunnah yang
Mutawatir dan Ijma’ Umat : bahwa sesungguhnya mayyit dishalatkan atasnya,
dido’akan untuknya, di istighfarkan (dimohonkan ampun) untuknya dan ini dari
usaha orang lain, dan sebagaimana juga telah tsabit pada salafush shaleh seperti
mayyit mendapatkan manfaat dengan shadaqah untuknya dan membebaskan budak, dan
semua itu dari usaha orang lain, dan jawaban mereka didalam masalah yang
bersifat ijma' merupakan jawaban yang telah berlalu sebelumnya terhadap yang
diperselisihkan, dan masalah tersebut bagi umat Islam terdapat jawaban yang
bermacam-macam.
لكن الجواب المحقق في ذلك أن الله تعالى لم يقل: إن الإنسان لا
ينتفع إلا بسعي نفسه، وإنما قال: {وأن ليس للإنسان إلا ما سعى} [النجم: 39] فهو لا
يملك إلا سعيه، ولا يستحق غير ذلك. وأما سعي غيره فهو له، كما أن الإنسان لا يملك
إلا مال نفسه ونفع نفسه. فمال غيره ونفع غيره هو كذلك للغير؛ لكن إذا تبرع له
الغير بذلك جاز
Akan tetapi jawaban ulama ahli Tahqiq terhadap masalah
tersebut (an-Najm : 39) adalah yakni Allah Ta'alaa tidak berfirman :
"bahwasanya manusia tidak bisa mendapatkan manfaat kecuali dengan amalnya
sendiri", sebaliknya Allah Ta'alaa berfirman : "dan tiada bagi
manusia kecuali apa yang diusahakan", maka ia tidak memiliki kecuali yang
diusahakannya dan juga tidak berhak selain yang demikian. adapun usaha orang
lain maka itu untuk orang lain tersebut, sebagaimana manusia tidak memiliki
(harta) kecuali harta yang ia usahakan sendiri dan memanfaatkannya sendiri,
maka harta orang lain dan manfaat orang lain itu sebagaimana untuk orang lain
itu sendiri, akan tetapi jika orang lain memberikan untuknya dengan hal yang
demikian maka itu boleh
وهكذا هذا إذا تبرع له الغير بسعيه نفعه الله بذلك، كما ينفعه
بدعائه له، والصدقة عنه، وهو ينتفع بكل ما يصل إليه من كل مسلم، سواء كان من
أقاربه، أو غيرهم، كما ينتفع بصلاة المصلين عليه ودعائهم له عند قبره
Ibnu Taimiyyah
Hanya Bicara Soal Keutamaan (Afdlaliyah) Bukan Membid’ahkan. Ibnu Taimiyah
pernah ditanya tentang mana yang lebih utama (afdlal) antara menghadiahkan
pahala kepada orang tua atau kepada kaum Muslimin. Dalam hal ini, pembahasan Ibnu Taimiyah hanya
menguraikan masalah keutamaan. Berikut adalah redaksinya :
سئل: عمن يقرأ
القرآن العظيم، أو شيئا منه، هل الأفضل أن يهدي ثوابه لوالديه، ولموتى المسلمين؟ أو
يجعل ثوابه لنفسه خاصة؟
“Ibnu Taimiyah
ditanya tentang orang yang membaca al-Qur’an al-‘Adhim atau sebagian dari
al-Qur’an, apakah lebih utama (afdlall) agar menghadiahkan pahalanya kepada
kedua orang tuanya, dan kepada orang muslim yang wafat ? atau hanya menjadikan
pahalanya untuk dirinya sendiri saja ?
الجواب: أفضل
العبادات ما وافق هدي رسول الله - صلى الله عليه وسلم - وهدي الصحابة، كما صح عن
النبي - صلى الله عليه وسلم - أنه كان يقول في خطبته: «خير الكلام كلام الله، وخير
الهدي هدي محمد، وشر الأمور محدثاتها، وكل بدعة ضلالة» . وقال - صلى الله عليه
وسلم -: خير القرون قرني، ثم الذين يلونهم
Jawab :
Ibadah-ibadah yang lebih utama adalah yang sesuai dengan pentunjuk Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam dan petunjuk para sahabat, sebagaimana telah
shahih dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam yang mana beliau bersabda
didalam khutbahnya : "sebaik-baiknya perkataan adalah Kalamullah dan
sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad, sedangkan seburuk-buruknya
perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid'ah itu sesat", Nabi
shallallahu 'alayhi wa salam juga bersabda : "sebaik-baiknya qurun
(generasi) adalah kurun-ku, kemudian yang datang setelah mereka".
وقال ابن مسعود:
من كان منكم مستنا فليستن بمن قد مات؛ فإن الحي لا تؤمن عليه الفتنة، أولئك أصحاب
محمد
Ibnu Ma'sud
berkata : barangsiapa diantara kalian yang ingin mengikuti petunjuk, maka
ambillah petunjuk dari orang-orang yang sudah mati. Karena orang yang masih
hidup tidaklah aman dari fitnah. Mereka yang harus diikuti adalah para sahabat
Muhammad shallallahu 'alayhi wa sallam
فإذا عرف هذا
الأصل. فالأمر الذي كان معروفا بين المسلمين في القرون المفضلة، أنهم كانوا يعبدون
الله بأنواع العبادات المشروعة، فرضها ونفلها، من الصلاة، والصيام، والقراءة،
والذكر، وغير ذلك وكانوا يدعون للمؤمنين والمؤمنات، كما أمر الله بذلك لأحيائهم،
وأمواتهم، في صلاتهم على الجنازة، وعند زيارة القبور، وغير ذلك
Maka apabila
telah diketahui pondasi (pokok) ini, maka perkara yang telah ma’ruf diantara
kaum muslimin pada qurun mufadldlalah (penuh karunia), bahwa mereka beribadah
kepada Allah dengan berbagai macam ibadah yang masyru’, baik fardlu maupun
nafilah (sunnah), seperti shalat, puasa, qiraa’ah (membaca al-Qur'an), dzikir
dan yang lainnya, mereka berdo’a untuk mukminin dan mukminat, sebagaimana Allah
perintahkan dengan hal itu untuk orang-orang yang hidup dan orang mati, baik
didalam shalat jenazah juga ketika ziarah kubur dan yang lainnya.
وروي عن طائفة من
السلف عند كل ختمة دعوة مجابة، فإذا دعا الرجل عقيب الختم لنفسه، ولوالديه،
ولمشايخه، وغيرهم من المؤمنين والمؤمنات، كان هذا من الجنس المشروع. وكذلك دعاؤه
لهم في قيام الليل، وغير ذلك من مواطن الإجابة
Telah diriwayatkan
dari sekelompok salafush shaleh dimana setiap kali khatam (al-Qur’an) merupakan
waktu do’a yang di ijabah, maka apabila seseorang berdo’a mengiringi khatmil
Qur’an untuk dirinya sendiri, kedua orang tuanya, masyayikh-nya dan yang
lainnya seperti mukminin dan mukminaat, hal ini merupakan termasuk dari jenis
ibadah yang masyru’, dan sebagaimana juga do’anya untuk mereka ketika qiyamul
lail (shalat malam), dan yang lainnya seperti momen-momen yang di ijabah
وقد صح عن النبي -
صلى الله عليه وسلم -: أنه أمر بالصدقة على الميت، وأمر أن يصام عنه الصوم.
فالصدقة عن الموتى من الأعمال الصالحة، وكذلك ما جاءت به السنة في الصوم عنهم.
وبهذا وغيره احتج من قال من العلماء: إنه يجوز إهداء ثواب العبادات المالية،
والبدنية إلى موتى المسلمين. كما هو مذهب أحمد، وأبي حنيفة، وطائفة من أصحاب مالك،
والشافعي
Dan telah shahih
dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bahwa beliau memerintahkan bershadaqah
untuk mayyit dan puasa untuk mayyit. Shadaqah untuk mayyit termasuk dari
amal-amal shalih, dan demikian juga perkara yang berasal dari sunnah tentang
puasa untuk mereka, dan berdasarkan hal ini serta berdasarkan yang lainnya
sebagian ulama berhujjah : bahwa boleh menghadiahkan (memberikan) pahala
ibadah-ibadah maliyah dan badaniyah kepada orang muslim yang meninggal,
sebagaimana itu adalah madzhab Ahmad, Abu Hanifah dan sekelompok ulama dari
Ashhab Malikk dan asy-Syafi’i
فإذا أهدي لميت
ثواب صيام، أو صلاة، أو قراءة، جاز ذلك، وأكثر أصحاب مالك، والشافعي يقولون: إنما
يشرع ذلك في العبادات المالية، ومع هذا لم يكن من عادة السلف إذا صلوا تطوعا، وصاموا،
وحجوا، أو قرءوا القرآن. يهدون ثواب ذلك لموتاهم المسلمين، ولا لخصوصهم، بل كان
عادتهم كما تقدم، فلا ينبغي للناس أن يعدلوا عن طريق السلف، فإنه أفضل وأكمل.
والله أعلم.
Ibnul Qayyim
al-Jauziyyah merupakan murid dari Ibnu Taimiyah, yang juga menjadi rujukan kaum
Wahhabiyah. Didalam salah satu kitabnya yaitu ar-Ruh termaktub hal-hal sebagai
berikut :
وَقد ذكر عَن
جمَاعَة من السّلف أَنهم أوصوا أَن يقْرَأ عِنْد قُبُورهم وَقت الدّفن قَالَ عبد
الْحق يرْوى أَن عبد الله بن عمر أَمر أَن يقْرَأ عِنْد قَبره سُورَة الْبَقَرَة
وَمِمَّنْ رأى ذَلِك الْمُعَلَّى بن عبد الرَّحْمَن وَكَانَ الامام أَحْمد يُنكر
ذَلِك أَولا حَيْثُ لم يبلغهُ فِيهِ أثر ثمَّ رَجَعَ عَن ذَلِك
“dan sungguh
telah disebutkan dari jama’ah salafush shalih bahwa mereka berwasiat agar dibacakan
al-Qur’an disisi qubur mereka waktu dimakamkan, Abdul Haq berkata : telah
diriwayatkan bahwa Abdullah bin ‘Umar –radliyallahu ‘anhumaa- memerintahkan
agar dibacakan surah al-Baqarah disisi quburnya dan diantara yang meriwayatkan
demikian adalah al-Mu’alla bin Abdurrahman, sedangkan awalnya Imam Ahmad
mengingkari yang demikian karena atsar tentang hal itu tidak sampai kepadanya
namun kemudian Imam Ahmad ruju’ dari yang demikian”
وَقَالَ الْخلال
فِي الْجَامِع كتاب الْقِرَاءَة عِنْد الْقُبُور اُخْبُرْنَا الْعَبَّاس بن
مُحَمَّد الدورى حَدثنَا يحيى بن معِين حَدثنَا مُبشر الحلبى حَدثنِي عبد
الرَّحْمَن بن الْعَلَاء بن اللَّجْلَاج عَن أَبِيه قَالَ قَالَ أَبى إِذا أنامت
فضعنى فِي اللَّحْد وَقل بِسم الله وعَلى سنة رَسُول الله وَسن على التُّرَاب سنا
واقرأ عِنْد رأسى بِفَاتِحَة الْبَقَرَة فإنى سَمِعت عبد الله بن عمر يَقُول ذَلِك
قَالَ عَبَّاس الدورى سَأَلت أَحْمد بن حَنْبَل قلت تحفظ فِي الْقِرَاءَة على
الْقَبْر شَيْئا فَقَالَ لَا وَسَأَلت يحيى ابْن معِين فحدثنى بِهَذَا الحَدِيث
“dan al-Khallal
didalam al-Jami’ kitab tentang pembacaan al-Qur’an disisi kubur, telah
mengkhabarkan kepada kami al-‘Abbas bin Muhammad ad-Dauri, menceritakan kepada
kami Yahya bin Mu’in, menceritakan kepada kami Mubasysyir al-Halabi,
menceritakan kepadaku Abdurrahman bin al-‘Alaa’ bin al-Lajlaj dari ayahnya, ia
berkata : ayahnya berkata : apabila aku mati, kuburlah aku didalam liang lahad
dan ucapakanlah “dengan asma Allah dan atas Sunnah Rasulillah”, kemudian
ratakanlah diatas tanah, dan bacalah disisi (qubur) kepalaku pembukaan surah al-Baqarah,
sebab aku mendengar Abdullah bin ‘Umar mengatakan hal itu, ‘Abbas ad-Dauri lalu
berkata : aku bertanya kepada Ahmad bin
Hanbal, aku katakan : Ia hafal sesuatu tentang pembacaan al-Qur’an diatas
qubur, ia menjawab : tidak, dan aku bertanya kepada Yahya bin Mu’in, maka ia
menceritakan kepadaku hadits ini.
قَالَ الْخلال
وَأَخْبرنِي الْحسن بن أَحْمد الْوراق حَدَّثَنى على بن مُوسَى الْحداد وَكَانَ
صَدُوقًا قَالَ كنت مَعَ أَحْمد بن حَنْبَل وَمُحَمّد بن قدامَة الجوهرى فِي
جَنَازَة فَلَمَّا دفن الْمَيِّت جلس رجل ضَرِير يقْرَأ عِنْد الْقَبْر فَقَالَ
لَهُ أَحْمد يَا هَذَا إِن الْقِرَاءَة عِنْد الْقَبْر بِدعَة فَلَمَّا خرجنَا من
الْمَقَابِر قَالَ مُحَمَّد بن قدامَة لِأَحْمَد بن حَنْبَل يَا أَبَا عبد الله
مَا تَقول فِي مُبشر الْحلَبِي قَالَ ثِقَة قَالَ كتبت عَنهُ شَيْئا قَالَ نعم
فَأَخْبرنِي مُبشر عَن عبد الرَّحْمَن بن الْعَلَاء اللَّجْلَاج عَن أَبِيه أَنه
أوصى إِذا دفن أَن يقْرَأ عِنْد رَأسه بِفَاتِحَة الْبَقَرَة وخاتمتها وَقَالَ
سَمِعت ابْن عمر يُوصي بذلك فَقَالَ لَهُ أَحْمد فَارْجِع وَقل للرجل يقْرَأ
“al-Khallal
berkata : telah mengkhabrkan kepadaku al-Hasan bin Ahmad al-Warraq,
menceritakan kepadaku ‘Ali bin Musa al-Haddad sedangkan ia adalah orang yang
jujur (shaduq), ia berkata : aku bersama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin
Qudamah al-Jauhari pada sebuah jenazah, ketika itu telah selesai pemakaman
mayyit maka duduklah seorang laki-laki buta membacakan al-Qur’an disisi qubur,
kemudian Ahmad berkata kepadanya : “hai.. apa ini ? sesungguhnya pembacaan
al-Qur’an disisi qubur adalah bid’ah”. Maka ketika kami keluar dari area
pekuburan, kemudian Muhammad bin Qudamah berkata kepada Ahmad bin Hanbal :
“wahai Abu Abdillah, apa yang engkau katakan tentang Mubasysyir al-Halabi ?”
Ahmad berkata : “tsiqah”, al-Jauhari
berkata : “apakah engkau meriwayatkan sesuatu darinya ?” Ahmad berkata : “iya”.
Maka mengkhabarkan kepada Mubasyyir dari Abdurrahman bin al-‘Alaa’ al-Lajlaj
dari ayahnya bahwa ia berwasiat apabila dimakamkan agar membaca disisi kepala
(qubur) nya dengan pembukaan al-Baqarah dan mengkhatamkannya, dan ia berkata :
aku mendengar Ibnu ‘Umar mewasiatkan hal itu, kemudian Ahmad berkata kepadanya
: maka kembalilah dan katakanlah kepada laki-laki agar membacanya”.
وَقَالَ الْحسن بن
الصَّباح الزَّعْفَرَانِي سَأَلت الشَّافِعِي عَن الْقِرَاءَة عِنْد الْقَبْر فَقَالَ
لَا بَأْس بهَا
“al-Hasan bin
ash-Shabbah az-Za’farani berkata ; aku bertanya kepada Imam asy-Syafi’i tentang
pembacaan al-Qur’an disisi qubur, maka beliau menjawab : hal itu tidak
apa-apa”.
وَذكر الْخلال عَن
الشّعبِيّ قَالَ كَانَت الْأَنْصَار إِذا مَاتَ لَهُم الْمَيِّت اخْتلفُوا إِلَى
قَبره يقرءُون عِنْده الْقُرْآن قَالَ وَأَخْبرنِي أَبُو يحيى النَّاقِد قَالَ
سَمِعت الْحسن بن الجروى يَقُول مَرَرْت على قبر أُخْت لي فَقَرَأت عِنْدهَا
تبَارك لما يذكر فِيهَا فَجَاءَنِي رجل فَقَالَ إنى رَأَيْت أختك فِي الْمَنَام
تَقول جزى الله أَبَا على خيرا فقد انتفعت بِمَا قَرَأَ أَخْبرنِي الْحسن بن
الْهَيْثَم قَالَ سَمِعت أَبَا بكر بن الأطروش ابْن بنت أبي نصر بن التمار يَقُول
كَانَ رجل يَجِيء إِلَى قبر أمه يَوْم الْجُمُعَة فَيقْرَأ سُورَة يس فجَاء فِي
بعض أَيَّامه فَقَرَأَ سُورَة يس ثمَّ قَالَ اللَّهُمَّ إِن كنت قسمت لهَذِهِ
السُّورَة ثَوابًا فاجعله فِي أهل هَذِه الْمَقَابِر
“al-Khallal
menuturkan dari asy-Sya’bi, ia berkata : shahabat (qaum) Anshar ketika
seseorang antara mereka wafat, mereka saling datang ke quburnya dan membacakan
al-Qur’an disisi quburnya, Ia berkata : “dan mengkhabarkanepadaku Abu Yahya
an-Naqid, ia berkata : aku mendengar al-Hasan bin al-Jarwiy mengatakan : aku
berjalan ke qubur saudara perempuanku kemudian aku membaca surah Tabarak
(al-Mulk) disisi (qubur) nya, setelah menuturkan tentangnya maka seorang
laki-laki datang kepadaku, kemudian berkata :
sesungguhnya aku melihat saudara perempuanmu dalam mimpi mengatakan :
semoga Allah membalas kebaikan Abu ‘Ali, sungguh memberikan manfaat kepadaku apa
yang ia baca”, Telah mengkhabarkan kepadaku al-Hasan bin al-Haitsam, ia berkata
: aku mendengar Abu Bakar bin al-Athrusy Ibnu binti Abu Nashr bin at-Tamar
mengatakan : seorang laki-laki datang ke qubur ibunya pada hari Jum’at kemudian
membaca surah Yasiin, pada sebgian hari yang lain ia juga datang membaca surah
Yasiin, kemudian berdoa : “ya Allah jika Engkau membagikan pahala dengan surah
ini, maka jadikanlah pahalanya untuk penghuni pekuburan ini”.
فَلَمَّا كَانَ
يَوْم الْجُمُعَة الَّتِي تَلِيهَا جَاءَت امْرَأَة فَقَالَت أَنْت فلَان ابْن
فُلَانَة قَالَ نعم قَالَت إِن بِنْتا لي مَاتَت فرأيتها فِي النّوم جالسة على
شَفير قبرها فَقلت مَا أجلسك هَا هُنَا فَقَالَت إِن فلَان ابْن فُلَانَة جَاءَ
إِلَى قبر أمه فَقَرَأَ سُورَة يس وَجعل ثَوَابهَا لأهل الْمَقَابِر فأصابنا من
روح ذَلِك أَو غفر لنا أَو نَحْو ذَلِك
“Ketika telah
tiba hari Jum’at berikutnya, seorang perempuan datang menemuinya kemudian
perempuan itu berkata : apakah engkau Fulan bin Fulanah ? ia berkata : “betul”,
perempuan itu berkata : sesungguhnya putriku meninggal dunia dan aku melihat
didalam mimpi ia sedang duduk diatas quburnya, kemudian aku berkata : kenapa
engkau duduk disini ? ia berkata : sesungguhnya Fulan bin Fulanah datang ke
quburnya ibunya kemudian membaca surah Yasiin, dan menjadikan pahalanya untuk
seluruh penghuni quburan, maka kami mendapatkan dari ruh yang demikian atau
pengampunan bagi kami atau seumpama itu”. [8]
Masih terkait
penuturan Ibnul Qayyim al-Jauziyyah tentang membaca al-Qur’an untuk orang mati
:
وأما قراءة القرآن
وإهداؤها له تطوعا بغير أجرة فهذا يصل إليه كما يصل ثواب الصوم والحج
“Adapun membaca
al-Qur’an dan menghadiahkannya kepada mayyit merupakan anjuran dengan tanpa
bayaran, maka ini sampai kepada mayyit sebagaimana sampainya pahala puasa dan
haji.” [9]
CATATAN KAKI :
[1] Lihat :
al-Fatawa al-Kubraa [3/27] Ibnu Taimiyah
[2] Lihat : Ibid
[3/31].
;[3] Lihat : Ibid [3/38].
[4]Lihat : Ibid [3/38].
[5]] Lihat : Ibid [3/38]
[6]Lihat : Ibid [3/63-64].
[7]Lihat : Ibid [3/37-38]. Ada juga hal menarik yang berasal dari Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah mengenai pertanyaan yang di ajukan kepada Ibnu Taimiyah, yang mana pertanyaan tersebut “mirip” dengan kegiatan majelis dzikir berupa tahlilan beserta bacaannya seperti tasbih, tahmid, takbir, tahlil dan sebagainya :
;[3] Lihat : Ibid [3/38].
[4]Lihat : Ibid [3/38].
[5]] Lihat : Ibid [3/38]
[6]Lihat : Ibid [3/63-64].
[7]Lihat : Ibid [3/37-38]. Ada juga hal menarik yang berasal dari Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah mengenai pertanyaan yang di ajukan kepada Ibnu Taimiyah, yang mana pertanyaan tersebut “mirip” dengan kegiatan majelis dzikir berupa tahlilan beserta bacaannya seperti tasbih, tahmid, takbir, tahlil dan sebagainya :
وسئل: عن رجل ينكر
على أهل الذكر يقول لهم: هذا الذكر بدعة وجهركم في الذكر بدعة وهم يفتتحون بالقرآن
ويختتمون ثم يدعون للمسلمين الأحياء والأموات ويجمعون التسبيح والتحميد والتهليل
والتكبير والحوقلة ويصلون على النبي صلى الله عليه وسلم والمنكر يعمل السماع مرات
بالتصفيق ويبطل الذكر في وقت عمل السماع. فأجاب: الاجتماع لذكر الله واستماع كتابه
والدعاء عمل صالح وهو من أفضل القربات والعبادات في الأوقات ففي الصحيح عن النبي
صلى الله عليه وسلم أنه قال: {إن لله ملائكة سياحين في الأرض فإذا مروا بقوم
يذكرون الله تنادوا هلموا إلى حاجتكم} وذكر الحديث وفيه {وجدناهم يسبحونك
ويحمدونك} لكن ينبغي أن يكون هذا أحيانا في بعض الأوقات والأمكنة فلا يجعل سنة
راتبة يحافظ عليها إلا ما سن رسول الله صلى الله عليه وسلم المداومة عليه في
الجماعات؟ من الصلوات الخمس في الجماعات ومن الجمعات والأعياد ونحو ذلك. وأما
محافظة الإنسان على أوراد له من الصلاة أو القراءة أو الذكر أو الدعاء طرفي النهار
وزلفا من الليل وغير ذلك: فهذا سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم والصالحين من
عباد الله قديما وحديثا
“Ibnu Taimiyah
ditanya tentang seorang laki-laki yang mengingkari ahli dzikir, dimana ia
mengatakan kepada mereka (ahli dzikir) “ini dzikir bid’ah dan menyaringkan
suara didalam dzikir kalian juga bid’ah”. Mereka (ahli dzikir) memulai dan
menutup dzikirnya dengan membaca al-Qur’an, kemudian mereka berdo’a untuk kaum
muslimin yang hidup maupun yang mati, mereka mengumpulkan antara bacaan
tasybih, tahmid, tahlil, takbir, hawqalah [Laa Hawla wa Laa Quwwata Ilaa
Billah], mereka juga bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam.. .
Jawab : Berkumpul
untuk dzikir kepada Allah, mendengarkan Kitabullah dan do’a merupakan amal
shalih, dan itu termasuk dari paling utamanya qurubaat (amal mendekatkan diri
kepada Allah) dan paling utamanya ibadah-ibadah pada setiap waktu, didalam
hadits Shahih dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, bahwa beliau bersabda :
“sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang selalu bepergian di bumi, ketika
mereka melewati sebuah qaum (perkumpulan) yang berdzikir kepada Allah, mereka (para
malaikat) berseru : “silahkan sampaikan hajat kalian”. dan disebutkan didalam
hadits tersebut, terdapat redaksi “dan kami menemukan mereka sedangkan
bertasbih kepada-Mu dan bertahmid (memuji)-Mu”, akan tetapi selayaknya ha ini
di hidupkan kapan saja dan dimana saja, tidak dijadikan sebagai sunnah ratibah
yang dirutinkan kecuali apa yang disunnahkan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa
sallam yang berketerusan dalam jama’ah ? seperti shalat 5 waktu (dilakukan)
dalam jama’ah, hari raya dan semisalnya. Adapun umat Islam memelihara rutinitas
wirid-wirid baginya seperti shalawat atau membaca al-Qur’an, atau mengingat
Allah atau do’a pada seluruh siang dan sebagian malam atau pada waktu lainnya,
maka hal ini merupakan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam,
orang-orang shalih dari hamba-hamba Allah sebelumnya dan sekarang.
[8]Lihat : ar-Ruh fil Kalami ‘alaa Arwahil Amwat
wal Ahya’ bid-Dalaili minal Kitab was Sunnah [1/10-11], Ibnul Qayyim
al-Jauziyyah
[9]Lihat : Ibid [1/142].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar